"Pethikan" adalah rites agraris yang dilakukan petani Jawa menjelang panen padi. Pethikan, dari akar kata "pethik" (Indonesia: memetik), dinyatakan dengan sebakul nasi, sayur mayur, sambal, lauk pauk, buah, dan jajan pasar. Pethikan ini disiapkan petani sebagai kehormatan dan dipersembahkan kepada tetangga/kerabat sekitar. Buat saya yang warga "baru" di Desa Palar, Trucuk, Klaten, pengalaman menerima dan mengasup hidangan pethikan adalah pengalaman yang pertama.
Pethikan adalah petanda yang bersahaja. Dan di dalam kebersahajaan inilah terletak kekuatan "logical frame matrix" dari rites agraris di tengah perubahan radikal tata-iklim dewasa ini. Rites pethikan berhubungan dengan "pakarti" atau hasil ikhtiar yang gigih, tak kenal menyerah, dan berproses dalam satuan musim tanam padi. Norma yang dijaga adalah keseimbangan diri di dalam kosmos. Sebakul nasi beserta kelengkapan hidangan, bahkan dinamai dengan sejumlah istilah secara takzim, adalah tindakan bersyukur di tengah ketidakpastian dan risiko perubahan. "Satria mujung" adalah nama untuk semacam sambal dengan bahan bekatul sebagaimana kosakata "Mboyong Dewi Sri ing kamar peteng" adalah mengamankan hasil panen padi di tempat yang menggaransi keberhasilan.
Persembahan pethikan dari petani juga melampaui kategori yang-publik dan yang-privat sebagaimana tengah didesakkan para penghayat modernisme. Sebagaimana petani di Athena klasik adalah orang yang bekerja untuk rakyat (demiourgoi), petani Jawa juga berkhidmat untuk kemaslahatan. Jika menjadi petani di Athena adalah persona pribadi (idiotes) dan sekaligus warga kota (politses), petani Jawa juga menyeimbangkan antara keutamaan sebagai pribadi dan menyeimbangkannya sebagai warga di dalam kebudayaan berkerajaan yang sudah melintas abad dan penuh dengan ketegangan sosial.
Dan hari ini, saya adalah warga baru di Desa Palar yang berperan sebagai penerima-manfaat dari pethikan. Sebakul nasi yang pulen yang diselep dari padi yang ditanam di tanah-air Klaten, ... dan menjaga pengharapan untuk panen yang lebih baik; Alhamdulillaah. Matur sembah nuwun, Pak Tris dan Bu Sri sekeluarga. (imron)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar